Minggu, 27 Maret 2011

Balada Angka 5

by : Risa Umari Y.A. at 11:21:00 AM

Aku dikasih kesempatan (lagi) buat ikutan kompetisi menghafal. Menghafal yang membuat rumahku nggak pernah sepi dan suara sampe habis. Sebenarnya aku sendiri nggak tahu akan jati diriku. Aku lemah dan terkadang stres kalo soal hafalan, tapi kenapa ikut ini ya ? Untunglah, saat ngafalin UUD dan TAP MPR aku nggak stres. Kalo stres mendadak, biasanya aku bakal keliling kompleks rumah sambil melakukan hal yang mungkin kurang senonoh untuk diperlihatkan. Kayang sambil ngupil. Persis kaya paus hamil yang lagi kena ambeyen. Enggak ding.
            Pas Hari Senin, aku syok berat. Karena, besok Sabtu udah mulai seleksi kabupaten buat lomba cerdas-cermat ini. Aku langsung mandi, makan mie dua bungkus, pake telor ceplok. Biar kuat tambah sayuran dan minum susu kuda. Kalau syok aku terkadang suka garing dan linglung. Aku mulai komat-kamit ngafalin keenam buku ini. Yang lebih dekat dari sahabat, setia dari pacar, dan tentunya lebih banyak daripada porsi makanku.
            Aku buka halaman pertama dengan senyuman. Kutatap banyak sekali kata-kata asing dan isinya tulisan semua. Tidak ada foto cowok cakep ataupun foto lucu yang membuatku bersemangat untuk membaca buku ini. Sukses besar. Aku tertidur lelap. Dan bermimpi semua benda di dunia ini berubah menjadi keenam buku itu. Makanan yang enak jadi buku yang menyeramkan. Terlebih semua muka orang yang aku lihat berubah menjadi sampul depan keenam buku itu. Semua terlihat sangat monoton. Apakah buku-buku ini telah menghipnotisku sehingga aku menjadi linglung dan tidak berdaya ?
            Aku bener-bener nggak ngerti dengan diriku sendiri. Kalau perut ini kosong, aku nggak bisa mikir. Kalau kenyang, sukses tidur sampai malam. Aku bangun jam lima sore dan langsung berendam di air mendidih yang sudah dicampur kembang tujuh rupa untuk ngumpulin tenaga yang kececer tadi. Sekalian refleksi dari kepenatan. Dan, badan masak seperti ayam panggang tulang lunak.
            Belajar lagi. Aku dan teman-teman lainnya seharian belajar bareng. Jadi deh pelajaran sekolah aku lupakan sebentar tanpa bermaksud apa-apa. Mikirin Hari Sabtu, hari di mana lomba cerdas-cermat ini dimulai, baru aku memikirkan nasib kelas. Sungguh aku adalah murid yang tak memiliki perikemuridan.
            Tibalah Hari Sabtu yang sebenarnya antara dinanti dan tak dinanti. Hari-hari Sabtuku memang penuh dengan ketegangan. Kalau nggak bagi raport ya lomba. Bagi raport itu lebih kejam dan mengerikan daripada muka singa yang sudah disulap menjadi teroris bom buku. Sebenernya, buka buku ini aku takut dan juga galau berat. Kalau-kalau tiba-tiba ada bom di dalam buku ini, dan meledak. Aku tinggal nunggu muncul di koran. Tapi, penderitaan yang aku hadapi hanya sedikit dan sebentar saja. Karena setelah itu, aku bakal menjadi orang yang terkenal dadakan akibat bom di dalam buku UUD ini. Banyak reporter dan infotaintment yang mewawancaraiku. Foto-fotoku tersebar luas di berbagai media.
            Lobmba ini Hari Sabtu. Jadi, waktuku untuk nangis jerit-jerit, atau senyum bahagia –karena menang ataupun kalah dalam pertandingan- sampai gigi kering cukuplah dilakukan sampai Hari Minggu. Sehingga, Hari Seninnya ke sekolah dengan muka yang normal (lagi). Walaupun sebenernya muka ini nggak pernah normal.
            Dalam satu kelompok Lomba Cerdas Cermat ini terdiri dari 10 orang. Aku (Icha) , Aan, Faisal, Tobing, Ririn, RJ, Okta, Pretty, Rima, dan Vischa. Kami mulai masuk ke aula ini. Tak terlalu besar, namun sangat cukup untuk beratus-ratus umat manusia yang tegang dan bermuka serius ini. Tapi, aku selalu merasa dingin. Emosi dan semangat, serta ketegangan ini nggak bisa aku lawan. Aku lemah banget untuk ngelawan diri sendiri. Yang kuat Cuma kalo dalam urusan makan.
             Akhirnya kami maju dan bertempur dengan senjata yang telah kami siapkan sejak lama. Aku jadi juru bicara. Aku ngomong putus-putus dan gagap gara-gara terlalu ngefans dengan Azis Gagap. Tepatnya, aku bener-bener tegang, medok Jawaku tiba-tiba keluar. Aku emang plin-plan. Kadang Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, atau kalau aku ngomong sama orang yang lembut aku jadi ngomong Sunda. Sungguh tragis. Kasep pisan euy !
            Saat waktu istirahat, kami pergi makan dan beribadah ke Masjid yang agak jauh dari aula itu. Masjid yang cukup besar dan sejuk. Setelah selesai solat, ada sesosok pemuda yang solat dengan khusyuk. Setelah pemuda itu selesai solat, dia mengajak Aan dan Faisal –anggota laki-laki dari tim cerdas cermat kami- berdoa bersama. Seakan pemuda itu tau apa yang mereka rasakan, ia berdoa sebanyak tiga kali. Dan di setiap jeda doanya, ia meminta mereka untuk memohon apa keinginan mereka. Tentu saja, mereka ingin “Kabupaten lolos, Provinsi lolos, dan tembus ke Nasional”. Seakan mendapat cambuk, kami bersemangat dan percaya pada kekuatan doa.
            Oke, singkat cerita kami masuk ke babak final. Tidak cukup mulus. Karena sekali lagi emosi ini cukup sulit buat diatasi. Kedudukan nilai sama. Aku panik, sudah siap-siap nangis buat kekalahan ini. Aku cengeng ya ? Bukan cengeng ! aku Cuma kasian sama temen-temenku. Sebagai bentuk solidaritas, maka aku akan mengikuti mereka kalau mereka nangis. Sungguh tak berpendirian. Seperti air di atas daun duren.
            Yap, soal rebutan terakhir. Soal dibacakan sebagian. Kami belum mencet bel. Aku dengar bunyi bel dari kelompok lawan yang ada di seberang. Aku udah nggak kuat. Aku megangin tangan temenku. Sungguh dramatis. Lebih dramatis dari drama Korea BBF, Full House, ataupun Meteor Garden. Lebih menyeramkan dari film The Mummy. Lebih banyak pengorbanan yang keluar dari film Titanic ataupun Romeo and Juliet.
            Mereka menjawab. Aku pucat. Senior kami yang menonton bersujud dan menangis di kursi penonton. Kami menunduk dan bernadzar bersama, saling bertatapan menatap masa depan kami nanti yang mungkin tak seindah apa yang kami cita-citakan. Yah, inilah pilihan hidup. Terkadang kita harus mendapat kepedihan walaupun kita belum dan tak akan pernah siap untuk menerimanya. Roda itu berputar, begitulah kehidupan. Jadi, jangan suka mutar roda kalau hidupmu nggak mau di bawah. Sungguh, nggak nyambung.
            Juri berdiskusi dan akan berkomentar mengenai jawabannya. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Kakiku bergetar hebat dengan nafas tersengal-sengal. Badanku dingin. Kepalaku terasa begitu berat. Air mata telah berada di pelupuk mata ini. Mataku sangat pedih, walaupun aku telah berusaha menahannya. “Jawaban salah !” kata juri dengan semangat. Sontak teman-temanku menangis sambil meloncat-loncat. Tapi, kenapa mereka loncat-loncat ya ? jujur, aku bingung dan bener-bener blank saat itu. Aku masih diam mematung di depan mic sambil membandingkan besarnya hidung ini dengan besarnya mic. “Kita ke Palangka”, teriak temenku. Aku baru sadar, kalo kami menang 5 poin dari mereka. Aku baru konek dan ngerti. Itu aja baru 40% ngerti. Aku ikutan seneng, terus ikutan nangis biar tambah dramatis dan eksis. Kami saling berpelukan seperti Teletubies. Faisal bingung mau meluk siapa. Sebelah kanan dan kirinya cewek semua. Setelah mendapatkan Aan, mereka berpelukan. Aan merasakan ketenangan. Begitupun Faisal. Apakah ini dampak dari pelukan mereka ?
            Sesampainya di rumah, aku mencoba untuk tidur dan menenangkan pikiran ini. Setelah aku merem-melek, pindah tidur sana-sini, dan baca doa tidur berpuluh-puluh kali, aku enggak bisa tidur. Emosi yang membuat aku nggak tenang.
            Hari ini telah selesai lomba di Kabupaten. Hari Selasa kami sudah berangkat ke Palangka Raya –ibukota Provinsi Kalteng- untuk mengikuti lomba ini di tingkat provinsi. Kembali seperti yang kemarin. Kami tak bisa kalau hanya berdiam diri dan bertopang dagu saja. Karena  nggak ada yang bawa kamera, jadinya HP ini jadi milik bersama. Baru naik bis, sudah bikin video klip aneh. Cuma senyum sambil joget-joget dan nangis buaya nggak jelas sudah berhasil membuat sebuah video layak tonton. Lebih menarik kalo nontonnya sambil merem dan tutup telinga. Tinggal diupload di You Tube, kamipun akan tenar.
            Pukul 03.00 dini hari, kami sampai di Palangka Raya, tepatnya di LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) aku turun dari bis dan menggendong tas pink , nyangklongin tas bahu berwarna kuning, megang bantal boneka, dan nyeret koper. Persis seperti anak yang ikutan transmigrasi bedol desa. Belum lagi sandal yang aku pake ini bener-bener super. Super membuat kaki ini lecet dan mau lepas. Sandal kesehatan yang ada tonjolan-tonjolan bisul ini sangat menyiksa. Aku senyum-senyum sambil jalan ngangkang seperti orang habis sunatan membawa semua barang ini. Aku paling belakang. Lorong gedung ini gelap dan aku masih setengah tak sadar. Aku merasakan ada sesuatu yang mengikutiku. Aku mempercepat langkah ini sambil berlari. Namun, sandal bisul ini membuat kakiku tak sanggup lagi berjalan. Karena, sandal bisul ini sukses membuat kakiku merah dan lecet sana-sini.
            Sampai di depan kamar nomor 15. cukup nyaman. Terdapat dua tempat tidur besar, sebuah lemari, sebuah meja rias, dan sebuah kipas angin.setelah beristirahat dan melepaskan semua penat, kami mulai mempersiapkan senjata, dan meruncingkan samurai untuk pertempuran besok. Tak luput dengan bersujud pada Allah SWT. Kami kembali membuka keenam buku ini dan menghafal bersama. Lebih ramai dan heboh daripada suara Bibi-bibi yang menawar baju di pasar tradisional.
            Selesai Salat Subuh di mushola, kami mengaji bersama. Saat mengaji, Vischa –teman cewek satu kelompokku juga-  yang ada tepat di sebelah kananku  ngelirik ke segala arah dengan pandangan ngeri, melotot, dan gimana gitu. Aku udah khawatir. Apakah dia ngelihat sesuatu ? Dia langsung ngibrit ke kamar setelah itu. Selesai ngaji bareng, kami kembali ke kamar dan nemuin dia di kamar. Dia teriak, “Kenapa sih ngikutin aku ?” Aku ngelihat ke segala arah. Nggak ada apa-apa. Berarti ? Aku takut, lari, dan memutuskan untuk sembunyi dan tidur di bawah selimut ini.
            Siangnya, kami pergi ke aula depan gedung untuk mengikuti brifing (pembekalan materi). Semua yang disampaikan dalam brifing ini akan keluar besok saat lomba. Dari jam tujuh pagi sampai jam delapan malam kami harus mendengarkan orang bicara tentang keenam buku ini. Anggota MPR ini mempersilahkan kami untuk tidur. Apakah ini juga kebiasaannya saat Rapat Paripurna anggota Dewan ? Aku bener-bener ngantuk. Aku mencoba mencuri waktu untuk merem, walau hanya beberapa detik saja. Namun, penyaji langsung melantangkan suaranya dan menunjuk-nunjuk ke arah siswa yang tertidur untuk menjawab soal yang Beliau berikan. Padahal, Beliau mempersilahkan kami untuk tidur, namun dengan segera ia melontarkan pertanyaan kepada siswa peserta lomba yang tertidur saat brifing ini.
            Alternatif obat anti tidur yang kami miliki adalah minyak aroma therapy. Gosokkan minyak ke bawah hidung, kelopak mata, dan di bawah mata ! Jangan sampai terkena bola mata. Karena akan membuat Anda melek terus. Gagal ! tetap aja aku ketiduran. Alternatif kedua adalah main game. Kami  –semua peserta- tak mendengarkan seluruh materi yang disampaikan. Karena rasa ngantuk yang berat di siang terik begini, ditambah suasana aula yang sejuk. Aku hanya merekam semua materi siang ini dengan hand phone dan akan mendengarkannya nanti malam.
            Malanya kami kembali solat berjamaah. Dengan membaca Al-Quran dengan doa lainnya yang dapat menenangkan hati dan memperkuat hafalan ini. Setelah itu, kami belajar bersama. Aku ngerasa mata ini berat banget. Aku mulai tiduran sambil menghafal. Aku menghafal sambil ngeraco. Nggak tahu apakah yang aku hafal ini sesuai dengan apa yang tadinya aku catat dan dengarkan ?
            Aku lihat Ririn –teman sekamarku- masih menghafal dengan teman-teman lainnya di kamar kami. Mataku berat banget dan malam itu sangat tak bisa untuk diajak kompromi. Sukses tertidur pulas. Aku kebangun jam dua tengah malam. Saat aku bangun, aku lihat kasur ini penuh dengan anak-anak lainnya. Semuanya tertidur dengan pulas. Layaknya ikan asin yang sedang dijemur. Pas bangun, kami langsung Solat bareng. Kembali tertidur setelah itu. Begitu sulit mata ini untuk diajak menatap keenam buku itu.
            Kami dapat kloter kedua. Sungguh mendebarkan. Babak penyisihan serasa babak semifinal. Langsung ketemu dengan lawan yang saat itu ketemu di semifinal. Apakah ini pertanda buruk ? Tak boleh putus asa, dan tak boleh menyerah.
            Sangat sengit, belnya ini sangat ngeracau. Saat kami memencet, tak ada satupun mic yang menyala. Saat kami tak memencet, bel kami yang nyala. Aku udah mulai pasrah. Aku ngukur gedenya hidungku (lagi) dengan mic saat kamera dalam keadaan on. Aku nggak peduli. Jangan-jangan, satu layar TV penuh dengan perbandingan gede hidungku dengan gede mic ini.
            “Soal habis”. Aku emang nggak suka dengan suara ini. Tapi itulah yang barusan kamindenger. Nggak ada reaksi dari penonton. Grup A teriak karena menang. Gurunya loncat indah dari kursi. Dan aku menangis. Menangisku dimulai dari dalam hati. Pembaca soal yang menyamakan semua tekanan bacaan, sehingga tak bisa untuk memotong soal. Bellnya yang ngeracau. Tapi, mungkin ini jalan kami. Begitulah digariskan dalam suratan takdir.
            Hanya juara II babak penyisihan. Dengan selisih poin lagi-lagi 5. mengapa kami harus menang sesaat dan kalah telak dengan selisih 5 poin ? Aku membenci angka 5. Apakah ini tragis ? Mungkin menurut kalian ini biasa saja. Yah, kekalahan dan kemenangan itu biasa saja. Namun, aku nggak bisa lagi membendung kesedihan ini yang sudah nyampe di ujung pelupuk mata. Bagian terakhir dari perlombaan ini adalah saat menyanyikan jingle. Aku manyun di atas panggung, dan tepuk tangan ala kadarnya. Aku masih nahan nangis, walau muka dilipet kayak lepet. Karena kamera ini masih dalam posisi on. Nggak mau dong kelihatan rada jelek di depan kamera.
            Selesai semua, dan ‘cut’. Aku langsung turun dan nangis. Aku duduk di kursi paling depan di ujung. Tepat di bawah sound system. Saat aku sakit hati, biasanya aku banyak makan. Mungkinkah sang sutradara ini telah bersekongkol untuk berpura-pura menghibur kami ? Aku dengar lagu dari penyanyi kesukaanku –Bondan Prakoso Fade 2 Black-. Emang biasanya aku langsung seneng dan joget-joget. Tapi ini momennya nggak pas. Kenapa lagu yang diputar itu judulnya “Ya Sudahlah” sungguh buat hati ini dongkol banget.

“Ketika mimpimu,  yang begitu indah,
Tak pernah terwujud, ya sudahlah.
Saat kau berlari,  mengejar anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah”

            Mungkin aku memang bukan tipe orang yang tegar. Apakah mimpi ini ketinggian ? Soalnya aku pernah baca, “Kekecewaan yang besar berasal dari harapan yang terlalu besar”. Yah, mungkin benar.
            Aku sesegera mungkin mengajak RJ –teman sekelompokku juga- untuk ke WC. Hanya ada satu tujuan, menangis bersama. Dengan menangis aku bisa sedikit mengurangi emosi yang ada dalam diri ini. Mungkin orang anggap aku cengeng. Namun, aku pikir kalo kita pengen menangis, menangislah, jika itu membuat kita menjadi lebih baik.
            Kami saling mengadu, di bawah langit, dan di hadapan Tuhan. Sebenernya, apakah tak malu kami menangis kepada Tuhan ? Selalu meminta dan menangis. Jarang mensyukuri apa yang telah diberikan. Setelah menangis setengah jam dan aku ngerasa kalau mulutku ini udah bengkak, aku ngajak RJ masuk.
            Setelah masuk, kami duduk paling belakang. Tidak kah ini sangat miris ? Namun, kekalahan adalah keberhasilan yang tertunda. Kata kakak sepupunya Ririn, “Orang pintar tak lebih baik daripada orang cerdas. Namun, orang beruntung lebih baik dari keduanya”. Mungkin ini memang belum keberuntungan kami. Keberuntungan ini bisa didapat di lain waktu, dan mungkin bukan di sini. Apakah keberuntungan kami sudah berakhir saat di kabupaten ? Apakah batu Ponari belum cukup manjur ?
            Malamnya, dengan perasaan dongkol namun pikiran ringan kami pergi ke 21. memilih film dengan judul “Rumah Tanpa Jendela”. Aku dongkol dengan kejadian tadi siang. Jadinya, aku makan lebih banyak dan ugal-ugalan. Sungguh, tak terpikir bagiku untuk melanjutkan program diet ini. Satu liter soda seharga Rp. 12.000,00 menemaniku yang nonton film sambil menggigil kepanasan.
            Aku telah mendapatkan posisi yang enak. Melipat kedua kaki di kursi, dan menaruh kepala di tempat minuman. Sungguh enak. Mereka ketawa. Mereka pikir, aku nonton sangat serius sambil nangis. Eh aku juga baru sadar kalo ternyata aku ketiduran. Untung aja aku nggak ngiler.
            Bagian yang sangat aku ingat, Aldo –anak yang memiliki kelatarbelakangan mental- kurang mendapat perhatian dari keluarganya. Dia berkata, “Ini Aldo, ini Rara, ini Bang Adam, ini Mas Tarjo”.  “Anggota keluarga lainnya mana, Do ?”  “Mereka pada sibuk”.
            Langsung deh dua saudara kembar yang ngakunya gentleman menangis. Aku ngakak. Mereka menangis bersama dalam bioskop gara-gara nonton film ini ? Apakah ini kewajaran ? Yah, luapan emosi sesaat sewaktu mereka khilaf. Tapi kayaknya mereka sering banget khilafnya.
            Dua jam menangis di bioskop membuat mereka nggak ngantuk. Aku nggak bisa tidur lagi akibat soda seliter yang sudah aku habisin dengan bringasnya. Ririn nggak bisa tidur akibat minum capuccinno yang mungkin juga seliter. Kami baca-baca dan sukses mengalami insomnia. Yang lainnya juga kena korban dari penyakit dadakan kami ini.
            Pas aku sama Ririn mau masuk kamar, temen-temen cowok ngambil kunci kamar kami. Dan langsung masuk kamar tanpa peduli pada kemalangan kami ini. “Hahahaha. Tenang aja, Rin. Kita ini genius kok”, kataku dengan senyum kemerdekaan. “Apanya, Cha ?”

            Sesaat kemudian aku mengambil kunci kamar mereka. Dan mereka sukses kami kunci dalam kamar. Aku sama Ririn ngakak-ngakak bahagia di koridor kamar. Sesaat kemudian, aku ngelihat ada sesuatu bayangan yang lewat. Gawat ! Tapi bayangan ini berwarna biru.
            Aku noleh ke ruang nonton TV, aku melihat Faisal udah duduk manis di kursi coklat itu. Lengkap dengan sandalnya. Padahal, sandalnya itu ada di depan kamarnya yang kami kunci rapat. Aan juga dengan senyum yang dimanisin jalan dari arah WC. Apakah yang terjadi ? Apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghilang ? Aku mencoba untuk melihat punggungnya. Nggak bolong.
            Aku cuma bisa ngakak sambil mikir. Tepat ! Mereka keluar lewat jendela kamar. Pas aku mau ke arah jendela kamar, gagal ! Mereka sudah terlebih dahulu menutup jendelanya. Mereka masih dengan muka polos duduk nonton TV. Tapi aku masih denger ada suara orang main gitar. Siapakah yang memainkannya ? Setauku, Cuma mereka berdua yang bisa main gitar. Aku udah mikir mereka bener-bener punya ilmu.
            Aku penasaran banget. Dengan nafas yang terengah-engah, aku sama Ririn buka kamar mereka. Jreeenggg. Aku lihat Tobing –teman cowok anggota kelompok cerdas cermat kami juga- mainin gitar itu dengan nada seadanya. Dan yang membuat kami guling-guling di koridor kamar, dia rebahan dengan gaya seperti Putri Duyung. Sungguh mistis.
            Mereka langsung masuk ke kamar melalui jalan yang sama. Jendela. Kami gagal lagi untuk mengambil kunci kamar. Kami tidur di kamar depan. Kamar temen cewek lainnya. Saat kami sempat tertidur, Ririn teriak, “apaan ituuuuuuuuuu?”
            Sontak kami semua kaget. Ngelihat di ventilasi ada sesuatu yang bergerak. Pas aku lihat, Aan dan Faisal sedang ngintai kami pake handy cam yang diikat di sapu. Seperti kamera tersembunyi. Dari mana mereka mempelajari ilmu paparazi ? Untung Ririn adalah tipe orang yang sadar kamera. Kami njerit, matiin lampu, keluar, mukulin mereka. Aku berusaha masuk kamar mereka buat ngebobol kotak rahasia yang berisi kunci kamar kami.
            Aku nggak kalah. Aku malah serasa pingsan. Pas aku masuk, serempak mereka ngentutin aku. Jadinya, aku dan Ririn tidur di koridor berdua. Jadi deh, tidur yang romantis, gratis, sekaligus tragis malam itu.
            Kembali mencoba untuk refreshing sebelum pulang dan berhadapan dengan tugas dan ulangan yang banyak tertinggal. Kami menonton bersama kembali. Di sana bisa meluapkan emosi kita. Tergantung mood dan film yang kita pilih. Kalo lagi sebel gini, mungkin film horror cocok buat ngeluarin teriakan-teriakan ini.
            Sampai di lantai tiga. Temenku sudah nyiapin sepuluh lembar tiket. Aku nanya apa judulnya. Dan emang bener doa ini terkabul. Film horror, Jenglot. Walaupun nanti nontonnya bersebelahan, aku memikirkan efek nantinya yang akan berpengaruh sangat buruk pada perkembangan diri ini.
            Mungkin nanti aku nggak bisa ngelupain hal itu selama satu tahun. Suka ngayal ke mana-mana. Dan mungkin menurunkan keimananku. Aku nggak takut kok. Bener deh. Aku Cuma nggak mau entar perkembanganku terganggu. Aku Cuma nyari amannya aja kok.
            Jadi deh, siang-siang bolong ini mereka nonton film horror yang mungkin lucu. Aku dengan teman lainnya -yang juga cari aman- jalan-jalan. Naik turun bangunan ini sampe enam kali. Lumayanlah buat nggedein betis. Biar jadi seperti pemain sepak bola.
            Setelah mereka selesai nonton, aku merasa lega. Sepanjang perjalanan, mereka banyak cerita tentang jenglot. Ada yang bilang kalo jenglotnya itu kayak diriku yang imut ini. Tingginya seukuran aku. Aduh, sebegitu populernyakah aku ini di dunia perjenglotan ?
            Namanya juga film horror. Biasanya sih ada adegan ‘eks’ nya. Begitu juga dengan film ini. Ada bapak-bapak yang ngerekam dengan hand phonenya saat tayangan ‘eks’ itu muncul. Setelah tayangan itu selesai, keluarlah bapak-bapak itu. Ck ck ck. Untung aku nggak ikutan. Kalo ikut, sama saja nambah dosa dan mungkin membuat aku nganga terus sampe telornya sapi muat masuk mulutku ini.
            Sepanjang perjalanan ke kota asal ini, aku bener-bener teler. Aku tidur dari awal sampe akhir perjalanan pulang ke kampung halaman ini. Walaupun sempat bangun, terus senyum manis dengan kotoran mata yang banyak kepada Ririn. Dia hanya duduk manis sambil menikmati perjalanannya. Karena, aku yang biasanya paling heboh dan memiliki banyak cerita terkapar tak berdaya di dalam bis ini.aku kembali menjadi seseorang yang pendiam. Ini memang sifat dan watak asliku. Menjadi seorang cewek yang pemalu, pendiam, dan juga kalem.
            Sampai saat inipun aku masih saja merindukan mereka semua. Dengan segala kejailan yang mereka lakukan padaku. Warna-warni kehidupan selama beberapa minggu dengan mereka. Aku masih merasa bagian dari mereka. Tolong, kentuti aku lagi ! Aku merindukan kalian.

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 27 Maret 2011

Balada Angka 5

Diposting oleh Risa Umari Y.A. di 11:21:00 AM

Aku dikasih kesempatan (lagi) buat ikutan kompetisi menghafal. Menghafal yang membuat rumahku nggak pernah sepi dan suara sampe habis. Sebenarnya aku sendiri nggak tahu akan jati diriku. Aku lemah dan terkadang stres kalo soal hafalan, tapi kenapa ikut ini ya ? Untunglah, saat ngafalin UUD dan TAP MPR aku nggak stres. Kalo stres mendadak, biasanya aku bakal keliling kompleks rumah sambil melakukan hal yang mungkin kurang senonoh untuk diperlihatkan. Kayang sambil ngupil. Persis kaya paus hamil yang lagi kena ambeyen. Enggak ding.
            Pas Hari Senin, aku syok berat. Karena, besok Sabtu udah mulai seleksi kabupaten buat lomba cerdas-cermat ini. Aku langsung mandi, makan mie dua bungkus, pake telor ceplok. Biar kuat tambah sayuran dan minum susu kuda. Kalau syok aku terkadang suka garing dan linglung. Aku mulai komat-kamit ngafalin keenam buku ini. Yang lebih dekat dari sahabat, setia dari pacar, dan tentunya lebih banyak daripada porsi makanku.
            Aku buka halaman pertama dengan senyuman. Kutatap banyak sekali kata-kata asing dan isinya tulisan semua. Tidak ada foto cowok cakep ataupun foto lucu yang membuatku bersemangat untuk membaca buku ini. Sukses besar. Aku tertidur lelap. Dan bermimpi semua benda di dunia ini berubah menjadi keenam buku itu. Makanan yang enak jadi buku yang menyeramkan. Terlebih semua muka orang yang aku lihat berubah menjadi sampul depan keenam buku itu. Semua terlihat sangat monoton. Apakah buku-buku ini telah menghipnotisku sehingga aku menjadi linglung dan tidak berdaya ?
            Aku bener-bener nggak ngerti dengan diriku sendiri. Kalau perut ini kosong, aku nggak bisa mikir. Kalau kenyang, sukses tidur sampai malam. Aku bangun jam lima sore dan langsung berendam di air mendidih yang sudah dicampur kembang tujuh rupa untuk ngumpulin tenaga yang kececer tadi. Sekalian refleksi dari kepenatan. Dan, badan masak seperti ayam panggang tulang lunak.
            Belajar lagi. Aku dan teman-teman lainnya seharian belajar bareng. Jadi deh pelajaran sekolah aku lupakan sebentar tanpa bermaksud apa-apa. Mikirin Hari Sabtu, hari di mana lomba cerdas-cermat ini dimulai, baru aku memikirkan nasib kelas. Sungguh aku adalah murid yang tak memiliki perikemuridan.
            Tibalah Hari Sabtu yang sebenarnya antara dinanti dan tak dinanti. Hari-hari Sabtuku memang penuh dengan ketegangan. Kalau nggak bagi raport ya lomba. Bagi raport itu lebih kejam dan mengerikan daripada muka singa yang sudah disulap menjadi teroris bom buku. Sebenernya, buka buku ini aku takut dan juga galau berat. Kalau-kalau tiba-tiba ada bom di dalam buku ini, dan meledak. Aku tinggal nunggu muncul di koran. Tapi, penderitaan yang aku hadapi hanya sedikit dan sebentar saja. Karena setelah itu, aku bakal menjadi orang yang terkenal dadakan akibat bom di dalam buku UUD ini. Banyak reporter dan infotaintment yang mewawancaraiku. Foto-fotoku tersebar luas di berbagai media.
            Lobmba ini Hari Sabtu. Jadi, waktuku untuk nangis jerit-jerit, atau senyum bahagia –karena menang ataupun kalah dalam pertandingan- sampai gigi kering cukuplah dilakukan sampai Hari Minggu. Sehingga, Hari Seninnya ke sekolah dengan muka yang normal (lagi). Walaupun sebenernya muka ini nggak pernah normal.
            Dalam satu kelompok Lomba Cerdas Cermat ini terdiri dari 10 orang. Aku (Icha) , Aan, Faisal, Tobing, Ririn, RJ, Okta, Pretty, Rima, dan Vischa. Kami mulai masuk ke aula ini. Tak terlalu besar, namun sangat cukup untuk beratus-ratus umat manusia yang tegang dan bermuka serius ini. Tapi, aku selalu merasa dingin. Emosi dan semangat, serta ketegangan ini nggak bisa aku lawan. Aku lemah banget untuk ngelawan diri sendiri. Yang kuat Cuma kalo dalam urusan makan.
             Akhirnya kami maju dan bertempur dengan senjata yang telah kami siapkan sejak lama. Aku jadi juru bicara. Aku ngomong putus-putus dan gagap gara-gara terlalu ngefans dengan Azis Gagap. Tepatnya, aku bener-bener tegang, medok Jawaku tiba-tiba keluar. Aku emang plin-plan. Kadang Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, atau kalau aku ngomong sama orang yang lembut aku jadi ngomong Sunda. Sungguh tragis. Kasep pisan euy !
            Saat waktu istirahat, kami pergi makan dan beribadah ke Masjid yang agak jauh dari aula itu. Masjid yang cukup besar dan sejuk. Setelah selesai solat, ada sesosok pemuda yang solat dengan khusyuk. Setelah pemuda itu selesai solat, dia mengajak Aan dan Faisal –anggota laki-laki dari tim cerdas cermat kami- berdoa bersama. Seakan pemuda itu tau apa yang mereka rasakan, ia berdoa sebanyak tiga kali. Dan di setiap jeda doanya, ia meminta mereka untuk memohon apa keinginan mereka. Tentu saja, mereka ingin “Kabupaten lolos, Provinsi lolos, dan tembus ke Nasional”. Seakan mendapat cambuk, kami bersemangat dan percaya pada kekuatan doa.
            Oke, singkat cerita kami masuk ke babak final. Tidak cukup mulus. Karena sekali lagi emosi ini cukup sulit buat diatasi. Kedudukan nilai sama. Aku panik, sudah siap-siap nangis buat kekalahan ini. Aku cengeng ya ? Bukan cengeng ! aku Cuma kasian sama temen-temenku. Sebagai bentuk solidaritas, maka aku akan mengikuti mereka kalau mereka nangis. Sungguh tak berpendirian. Seperti air di atas daun duren.
            Yap, soal rebutan terakhir. Soal dibacakan sebagian. Kami belum mencet bel. Aku dengar bunyi bel dari kelompok lawan yang ada di seberang. Aku udah nggak kuat. Aku megangin tangan temenku. Sungguh dramatis. Lebih dramatis dari drama Korea BBF, Full House, ataupun Meteor Garden. Lebih menyeramkan dari film The Mummy. Lebih banyak pengorbanan yang keluar dari film Titanic ataupun Romeo and Juliet.
            Mereka menjawab. Aku pucat. Senior kami yang menonton bersujud dan menangis di kursi penonton. Kami menunduk dan bernadzar bersama, saling bertatapan menatap masa depan kami nanti yang mungkin tak seindah apa yang kami cita-citakan. Yah, inilah pilihan hidup. Terkadang kita harus mendapat kepedihan walaupun kita belum dan tak akan pernah siap untuk menerimanya. Roda itu berputar, begitulah kehidupan. Jadi, jangan suka mutar roda kalau hidupmu nggak mau di bawah. Sungguh, nggak nyambung.
            Juri berdiskusi dan akan berkomentar mengenai jawabannya. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Kakiku bergetar hebat dengan nafas tersengal-sengal. Badanku dingin. Kepalaku terasa begitu berat. Air mata telah berada di pelupuk mata ini. Mataku sangat pedih, walaupun aku telah berusaha menahannya. “Jawaban salah !” kata juri dengan semangat. Sontak teman-temanku menangis sambil meloncat-loncat. Tapi, kenapa mereka loncat-loncat ya ? jujur, aku bingung dan bener-bener blank saat itu. Aku masih diam mematung di depan mic sambil membandingkan besarnya hidung ini dengan besarnya mic. “Kita ke Palangka”, teriak temenku. Aku baru sadar, kalo kami menang 5 poin dari mereka. Aku baru konek dan ngerti. Itu aja baru 40% ngerti. Aku ikutan seneng, terus ikutan nangis biar tambah dramatis dan eksis. Kami saling berpelukan seperti Teletubies. Faisal bingung mau meluk siapa. Sebelah kanan dan kirinya cewek semua. Setelah mendapatkan Aan, mereka berpelukan. Aan merasakan ketenangan. Begitupun Faisal. Apakah ini dampak dari pelukan mereka ?
            Sesampainya di rumah, aku mencoba untuk tidur dan menenangkan pikiran ini. Setelah aku merem-melek, pindah tidur sana-sini, dan baca doa tidur berpuluh-puluh kali, aku enggak bisa tidur. Emosi yang membuat aku nggak tenang.
            Hari ini telah selesai lomba di Kabupaten. Hari Selasa kami sudah berangkat ke Palangka Raya –ibukota Provinsi Kalteng- untuk mengikuti lomba ini di tingkat provinsi. Kembali seperti yang kemarin. Kami tak bisa kalau hanya berdiam diri dan bertopang dagu saja. Karena  nggak ada yang bawa kamera, jadinya HP ini jadi milik bersama. Baru naik bis, sudah bikin video klip aneh. Cuma senyum sambil joget-joget dan nangis buaya nggak jelas sudah berhasil membuat sebuah video layak tonton. Lebih menarik kalo nontonnya sambil merem dan tutup telinga. Tinggal diupload di You Tube, kamipun akan tenar.
            Pukul 03.00 dini hari, kami sampai di Palangka Raya, tepatnya di LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) aku turun dari bis dan menggendong tas pink , nyangklongin tas bahu berwarna kuning, megang bantal boneka, dan nyeret koper. Persis seperti anak yang ikutan transmigrasi bedol desa. Belum lagi sandal yang aku pake ini bener-bener super. Super membuat kaki ini lecet dan mau lepas. Sandal kesehatan yang ada tonjolan-tonjolan bisul ini sangat menyiksa. Aku senyum-senyum sambil jalan ngangkang seperti orang habis sunatan membawa semua barang ini. Aku paling belakang. Lorong gedung ini gelap dan aku masih setengah tak sadar. Aku merasakan ada sesuatu yang mengikutiku. Aku mempercepat langkah ini sambil berlari. Namun, sandal bisul ini membuat kakiku tak sanggup lagi berjalan. Karena, sandal bisul ini sukses membuat kakiku merah dan lecet sana-sini.
            Sampai di depan kamar nomor 15. cukup nyaman. Terdapat dua tempat tidur besar, sebuah lemari, sebuah meja rias, dan sebuah kipas angin.setelah beristirahat dan melepaskan semua penat, kami mulai mempersiapkan senjata, dan meruncingkan samurai untuk pertempuran besok. Tak luput dengan bersujud pada Allah SWT. Kami kembali membuka keenam buku ini dan menghafal bersama. Lebih ramai dan heboh daripada suara Bibi-bibi yang menawar baju di pasar tradisional.
            Selesai Salat Subuh di mushola, kami mengaji bersama. Saat mengaji, Vischa –teman cewek satu kelompokku juga-  yang ada tepat di sebelah kananku  ngelirik ke segala arah dengan pandangan ngeri, melotot, dan gimana gitu. Aku udah khawatir. Apakah dia ngelihat sesuatu ? Dia langsung ngibrit ke kamar setelah itu. Selesai ngaji bareng, kami kembali ke kamar dan nemuin dia di kamar. Dia teriak, “Kenapa sih ngikutin aku ?” Aku ngelihat ke segala arah. Nggak ada apa-apa. Berarti ? Aku takut, lari, dan memutuskan untuk sembunyi dan tidur di bawah selimut ini.
            Siangnya, kami pergi ke aula depan gedung untuk mengikuti brifing (pembekalan materi). Semua yang disampaikan dalam brifing ini akan keluar besok saat lomba. Dari jam tujuh pagi sampai jam delapan malam kami harus mendengarkan orang bicara tentang keenam buku ini. Anggota MPR ini mempersilahkan kami untuk tidur. Apakah ini juga kebiasaannya saat Rapat Paripurna anggota Dewan ? Aku bener-bener ngantuk. Aku mencoba mencuri waktu untuk merem, walau hanya beberapa detik saja. Namun, penyaji langsung melantangkan suaranya dan menunjuk-nunjuk ke arah siswa yang tertidur untuk menjawab soal yang Beliau berikan. Padahal, Beliau mempersilahkan kami untuk tidur, namun dengan segera ia melontarkan pertanyaan kepada siswa peserta lomba yang tertidur saat brifing ini.
            Alternatif obat anti tidur yang kami miliki adalah minyak aroma therapy. Gosokkan minyak ke bawah hidung, kelopak mata, dan di bawah mata ! Jangan sampai terkena bola mata. Karena akan membuat Anda melek terus. Gagal ! tetap aja aku ketiduran. Alternatif kedua adalah main game. Kami  –semua peserta- tak mendengarkan seluruh materi yang disampaikan. Karena rasa ngantuk yang berat di siang terik begini, ditambah suasana aula yang sejuk. Aku hanya merekam semua materi siang ini dengan hand phone dan akan mendengarkannya nanti malam.
            Malanya kami kembali solat berjamaah. Dengan membaca Al-Quran dengan doa lainnya yang dapat menenangkan hati dan memperkuat hafalan ini. Setelah itu, kami belajar bersama. Aku ngerasa mata ini berat banget. Aku mulai tiduran sambil menghafal. Aku menghafal sambil ngeraco. Nggak tahu apakah yang aku hafal ini sesuai dengan apa yang tadinya aku catat dan dengarkan ?
            Aku lihat Ririn –teman sekamarku- masih menghafal dengan teman-teman lainnya di kamar kami. Mataku berat banget dan malam itu sangat tak bisa untuk diajak kompromi. Sukses tertidur pulas. Aku kebangun jam dua tengah malam. Saat aku bangun, aku lihat kasur ini penuh dengan anak-anak lainnya. Semuanya tertidur dengan pulas. Layaknya ikan asin yang sedang dijemur. Pas bangun, kami langsung Solat bareng. Kembali tertidur setelah itu. Begitu sulit mata ini untuk diajak menatap keenam buku itu.
            Kami dapat kloter kedua. Sungguh mendebarkan. Babak penyisihan serasa babak semifinal. Langsung ketemu dengan lawan yang saat itu ketemu di semifinal. Apakah ini pertanda buruk ? Tak boleh putus asa, dan tak boleh menyerah.
            Sangat sengit, belnya ini sangat ngeracau. Saat kami memencet, tak ada satupun mic yang menyala. Saat kami tak memencet, bel kami yang nyala. Aku udah mulai pasrah. Aku ngukur gedenya hidungku (lagi) dengan mic saat kamera dalam keadaan on. Aku nggak peduli. Jangan-jangan, satu layar TV penuh dengan perbandingan gede hidungku dengan gede mic ini.
            “Soal habis”. Aku emang nggak suka dengan suara ini. Tapi itulah yang barusan kamindenger. Nggak ada reaksi dari penonton. Grup A teriak karena menang. Gurunya loncat indah dari kursi. Dan aku menangis. Menangisku dimulai dari dalam hati. Pembaca soal yang menyamakan semua tekanan bacaan, sehingga tak bisa untuk memotong soal. Bellnya yang ngeracau. Tapi, mungkin ini jalan kami. Begitulah digariskan dalam suratan takdir.
            Hanya juara II babak penyisihan. Dengan selisih poin lagi-lagi 5. mengapa kami harus menang sesaat dan kalah telak dengan selisih 5 poin ? Aku membenci angka 5. Apakah ini tragis ? Mungkin menurut kalian ini biasa saja. Yah, kekalahan dan kemenangan itu biasa saja. Namun, aku nggak bisa lagi membendung kesedihan ini yang sudah nyampe di ujung pelupuk mata. Bagian terakhir dari perlombaan ini adalah saat menyanyikan jingle. Aku manyun di atas panggung, dan tepuk tangan ala kadarnya. Aku masih nahan nangis, walau muka dilipet kayak lepet. Karena kamera ini masih dalam posisi on. Nggak mau dong kelihatan rada jelek di depan kamera.
            Selesai semua, dan ‘cut’. Aku langsung turun dan nangis. Aku duduk di kursi paling depan di ujung. Tepat di bawah sound system. Saat aku sakit hati, biasanya aku banyak makan. Mungkinkah sang sutradara ini telah bersekongkol untuk berpura-pura menghibur kami ? Aku dengar lagu dari penyanyi kesukaanku –Bondan Prakoso Fade 2 Black-. Emang biasanya aku langsung seneng dan joget-joget. Tapi ini momennya nggak pas. Kenapa lagu yang diputar itu judulnya “Ya Sudahlah” sungguh buat hati ini dongkol banget.

“Ketika mimpimu,  yang begitu indah,
Tak pernah terwujud, ya sudahlah.
Saat kau berlari,  mengejar anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah”

            Mungkin aku memang bukan tipe orang yang tegar. Apakah mimpi ini ketinggian ? Soalnya aku pernah baca, “Kekecewaan yang besar berasal dari harapan yang terlalu besar”. Yah, mungkin benar.
            Aku sesegera mungkin mengajak RJ –teman sekelompokku juga- untuk ke WC. Hanya ada satu tujuan, menangis bersama. Dengan menangis aku bisa sedikit mengurangi emosi yang ada dalam diri ini. Mungkin orang anggap aku cengeng. Namun, aku pikir kalo kita pengen menangis, menangislah, jika itu membuat kita menjadi lebih baik.
            Kami saling mengadu, di bawah langit, dan di hadapan Tuhan. Sebenernya, apakah tak malu kami menangis kepada Tuhan ? Selalu meminta dan menangis. Jarang mensyukuri apa yang telah diberikan. Setelah menangis setengah jam dan aku ngerasa kalau mulutku ini udah bengkak, aku ngajak RJ masuk.
            Setelah masuk, kami duduk paling belakang. Tidak kah ini sangat miris ? Namun, kekalahan adalah keberhasilan yang tertunda. Kata kakak sepupunya Ririn, “Orang pintar tak lebih baik daripada orang cerdas. Namun, orang beruntung lebih baik dari keduanya”. Mungkin ini memang belum keberuntungan kami. Keberuntungan ini bisa didapat di lain waktu, dan mungkin bukan di sini. Apakah keberuntungan kami sudah berakhir saat di kabupaten ? Apakah batu Ponari belum cukup manjur ?
            Malamnya, dengan perasaan dongkol namun pikiran ringan kami pergi ke 21. memilih film dengan judul “Rumah Tanpa Jendela”. Aku dongkol dengan kejadian tadi siang. Jadinya, aku makan lebih banyak dan ugal-ugalan. Sungguh, tak terpikir bagiku untuk melanjutkan program diet ini. Satu liter soda seharga Rp. 12.000,00 menemaniku yang nonton film sambil menggigil kepanasan.
            Aku telah mendapatkan posisi yang enak. Melipat kedua kaki di kursi, dan menaruh kepala di tempat minuman. Sungguh enak. Mereka ketawa. Mereka pikir, aku nonton sangat serius sambil nangis. Eh aku juga baru sadar kalo ternyata aku ketiduran. Untung aja aku nggak ngiler.
            Bagian yang sangat aku ingat, Aldo –anak yang memiliki kelatarbelakangan mental- kurang mendapat perhatian dari keluarganya. Dia berkata, “Ini Aldo, ini Rara, ini Bang Adam, ini Mas Tarjo”.  “Anggota keluarga lainnya mana, Do ?”  “Mereka pada sibuk”.
            Langsung deh dua saudara kembar yang ngakunya gentleman menangis. Aku ngakak. Mereka menangis bersama dalam bioskop gara-gara nonton film ini ? Apakah ini kewajaran ? Yah, luapan emosi sesaat sewaktu mereka khilaf. Tapi kayaknya mereka sering banget khilafnya.
            Dua jam menangis di bioskop membuat mereka nggak ngantuk. Aku nggak bisa tidur lagi akibat soda seliter yang sudah aku habisin dengan bringasnya. Ririn nggak bisa tidur akibat minum capuccinno yang mungkin juga seliter. Kami baca-baca dan sukses mengalami insomnia. Yang lainnya juga kena korban dari penyakit dadakan kami ini.
            Pas aku sama Ririn mau masuk kamar, temen-temen cowok ngambil kunci kamar kami. Dan langsung masuk kamar tanpa peduli pada kemalangan kami ini. “Hahahaha. Tenang aja, Rin. Kita ini genius kok”, kataku dengan senyum kemerdekaan. “Apanya, Cha ?”

            Sesaat kemudian aku mengambil kunci kamar mereka. Dan mereka sukses kami kunci dalam kamar. Aku sama Ririn ngakak-ngakak bahagia di koridor kamar. Sesaat kemudian, aku ngelihat ada sesuatu bayangan yang lewat. Gawat ! Tapi bayangan ini berwarna biru.
            Aku noleh ke ruang nonton TV, aku melihat Faisal udah duduk manis di kursi coklat itu. Lengkap dengan sandalnya. Padahal, sandalnya itu ada di depan kamarnya yang kami kunci rapat. Aan juga dengan senyum yang dimanisin jalan dari arah WC. Apakah yang terjadi ? Apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghilang ? Aku mencoba untuk melihat punggungnya. Nggak bolong.
            Aku cuma bisa ngakak sambil mikir. Tepat ! Mereka keluar lewat jendela kamar. Pas aku mau ke arah jendela kamar, gagal ! Mereka sudah terlebih dahulu menutup jendelanya. Mereka masih dengan muka polos duduk nonton TV. Tapi aku masih denger ada suara orang main gitar. Siapakah yang memainkannya ? Setauku, Cuma mereka berdua yang bisa main gitar. Aku udah mikir mereka bener-bener punya ilmu.
            Aku penasaran banget. Dengan nafas yang terengah-engah, aku sama Ririn buka kamar mereka. Jreeenggg. Aku lihat Tobing –teman cowok anggota kelompok cerdas cermat kami juga- mainin gitar itu dengan nada seadanya. Dan yang membuat kami guling-guling di koridor kamar, dia rebahan dengan gaya seperti Putri Duyung. Sungguh mistis.
            Mereka langsung masuk ke kamar melalui jalan yang sama. Jendela. Kami gagal lagi untuk mengambil kunci kamar. Kami tidur di kamar depan. Kamar temen cewek lainnya. Saat kami sempat tertidur, Ririn teriak, “apaan ituuuuuuuuuu?”
            Sontak kami semua kaget. Ngelihat di ventilasi ada sesuatu yang bergerak. Pas aku lihat, Aan dan Faisal sedang ngintai kami pake handy cam yang diikat di sapu. Seperti kamera tersembunyi. Dari mana mereka mempelajari ilmu paparazi ? Untung Ririn adalah tipe orang yang sadar kamera. Kami njerit, matiin lampu, keluar, mukulin mereka. Aku berusaha masuk kamar mereka buat ngebobol kotak rahasia yang berisi kunci kamar kami.
            Aku nggak kalah. Aku malah serasa pingsan. Pas aku masuk, serempak mereka ngentutin aku. Jadinya, aku dan Ririn tidur di koridor berdua. Jadi deh, tidur yang romantis, gratis, sekaligus tragis malam itu.
            Kembali mencoba untuk refreshing sebelum pulang dan berhadapan dengan tugas dan ulangan yang banyak tertinggal. Kami menonton bersama kembali. Di sana bisa meluapkan emosi kita. Tergantung mood dan film yang kita pilih. Kalo lagi sebel gini, mungkin film horror cocok buat ngeluarin teriakan-teriakan ini.
            Sampai di lantai tiga. Temenku sudah nyiapin sepuluh lembar tiket. Aku nanya apa judulnya. Dan emang bener doa ini terkabul. Film horror, Jenglot. Walaupun nanti nontonnya bersebelahan, aku memikirkan efek nantinya yang akan berpengaruh sangat buruk pada perkembangan diri ini.
            Mungkin nanti aku nggak bisa ngelupain hal itu selama satu tahun. Suka ngayal ke mana-mana. Dan mungkin menurunkan keimananku. Aku nggak takut kok. Bener deh. Aku Cuma nggak mau entar perkembanganku terganggu. Aku Cuma nyari amannya aja kok.
            Jadi deh, siang-siang bolong ini mereka nonton film horror yang mungkin lucu. Aku dengan teman lainnya -yang juga cari aman- jalan-jalan. Naik turun bangunan ini sampe enam kali. Lumayanlah buat nggedein betis. Biar jadi seperti pemain sepak bola.
            Setelah mereka selesai nonton, aku merasa lega. Sepanjang perjalanan, mereka banyak cerita tentang jenglot. Ada yang bilang kalo jenglotnya itu kayak diriku yang imut ini. Tingginya seukuran aku. Aduh, sebegitu populernyakah aku ini di dunia perjenglotan ?
            Namanya juga film horror. Biasanya sih ada adegan ‘eks’ nya. Begitu juga dengan film ini. Ada bapak-bapak yang ngerekam dengan hand phonenya saat tayangan ‘eks’ itu muncul. Setelah tayangan itu selesai, keluarlah bapak-bapak itu. Ck ck ck. Untung aku nggak ikutan. Kalo ikut, sama saja nambah dosa dan mungkin membuat aku nganga terus sampe telornya sapi muat masuk mulutku ini.
            Sepanjang perjalanan ke kota asal ini, aku bener-bener teler. Aku tidur dari awal sampe akhir perjalanan pulang ke kampung halaman ini. Walaupun sempat bangun, terus senyum manis dengan kotoran mata yang banyak kepada Ririn. Dia hanya duduk manis sambil menikmati perjalanannya. Karena, aku yang biasanya paling heboh dan memiliki banyak cerita terkapar tak berdaya di dalam bis ini.aku kembali menjadi seseorang yang pendiam. Ini memang sifat dan watak asliku. Menjadi seorang cewek yang pemalu, pendiam, dan juga kalem.
            Sampai saat inipun aku masih saja merindukan mereka semua. Dengan segala kejailan yang mereka lakukan padaku. Warna-warni kehidupan selama beberapa minggu dengan mereka. Aku masih merasa bagian dari mereka. Tolong, kentuti aku lagi ! Aku merindukan kalian.

0 komentar on "Balada Angka 5"

Posting Komentar


 

Secangkir Capuccinno Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea