Senin, 25 Juni 2012

Kerinduan yang Kian Membeku

by : Risa Umari Y.A. at 5:17:00 PM

                Bukan keinginanku untuk kembali dalam perputaran waktu yang sama. Berjuta putaran jam tak mampu menghapuskan serpihan kenangan yang masih saja terpatri kuat di hatiku yang mulai layu. Mungkin takdir yang kembali menyatukan kita. Mungkin takdir yang membuat serpihan itu kembali utuh. Mungkin ini semua hanya permainan takdir.
                Pernah beberapa kali kucoba untuk membuka hati yang hampa. Kucoba memasukkan sosok pria baru dalam relung hatiku. Mencoba menggeser tahta dirimu yang masih saja menggelayuti langit hatiku. Namun mereka semua tak mampu menggeser tahtamu. Kau masih saja duduk manis dalam singgasana hatiku. Padahal telah kuusir dengan keras agar kau pergi dan tak lagi menyentuh hati ini.
                Kutuliskan di beberapa kertas di binderku bahwa aku tak akan pernah ingin bertemu denganmu, mengenalmu, mengingatmu, dan mencintaimu lagi. Kenangan lalu selalu membuatku sakit. Kenangan lalu selalu membuat kepalaku nyeri dan pipiku kembali basah.
                Namun waktu mampu hapus semua duka itu. Saat kau kembali menyapa hati ini –yang masih tak bisa mengusirmu- dengan sapaan yang sangat lama kuinginkan. Kau kembali menyentuh lembut perasaanku. Kau kembali mencuri hatiku. Aku merasa aku telah mengkhianati diriku sendiri. Bahwasannya aku pernah berjanji untuk tak lagi pernah membuka hatiku untuk kembali menerimamu.    
Aku ingin segera bertemu denganmu. Berbagi duka di  bahu hangatmu. Dan bersandar di dadamu yang bidang. Aku ingin kita kembali bersama merajut mimpi di atas senja. Agar saat segerombolan burung melintas, ia dapat membawa mimpi-mimpi kita terbang melintasi nirwana. Aku ingin kau selalu bersamaku, di sampingku, memelukku erat, hingga mentari kembali menyengat tubuhku yang beku.
                Tapi waktu begitu cepat menutup kemesraan ini. Hatiku yang sempat mencair kini kembali dingin. Aku menitikkan air mata. Kau dengan pasti melangkahkan kaki beratmu menjauhiku.
                “Sayang, tenanglah! Aku akan kembali,” katamu sambil mencium keningku.
                “Percayalah setiap depa yang memisahkan kita, setiap detik yang menjadi halangan bagi kita, itu memiliki makna bahwa cintaku untukmu sebesar seratus kali dari itu semua. Aku begitu menyayangimu. Yakinlah aku akan kembali untukmu. Bersabarlah di sini untuk selalu setia menungguku.”
                Aku tak percaya. Pria berkulit eksotis ini kini benar-benar meninggalkanku dalam keheningan malam. Mendung mala mini mendukung air mataku yang sedari tadi mengucur deras. Aku kembali merasakan sepi. Sepi yang dulu sempat kurasakan ketika harus berpisah juga dengannya.
                Dia kembali memelukku. Erat. Sangat erat. Desahan nafasnya membuatku sedikit tenang. Jariku mencakar punggungnya erat. Menahan kepedihan dan rasa rindu yang belum terbalaskan utuh. Jariku kaku.
                Dia berbalik. Meninggalkanku yang masih saja terpaku dengan kepergiannya. Kutatap punggungnya yang semakin menjauh. Jauh. Jauh. Dan hilang. Pergilah untuk meraih apa yang kau citakan dan merengkuh takdirmu. Aku akan menunggumu di sini. Aku tak akan pernah beranjak dari tempat penantian ini. Kembalilah dengan pengharapan yang tak pernah putus. Karena tak ada alasan bagiku untuk terus mencintaimu. Apalagi untuk meninggalkanmu sendiri dengan sejuta harap.

Yogyakarta, 17 Juni 2012
Risa Umari Yuli Aliviyanti – dalam kerinduan yang kian membeku

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 25 Juni 2012

Kerinduan yang Kian Membeku

Diposting oleh Risa Umari Y.A. di 5:17:00 PM

                Bukan keinginanku untuk kembali dalam perputaran waktu yang sama. Berjuta putaran jam tak mampu menghapuskan serpihan kenangan yang masih saja terpatri kuat di hatiku yang mulai layu. Mungkin takdir yang kembali menyatukan kita. Mungkin takdir yang membuat serpihan itu kembali utuh. Mungkin ini semua hanya permainan takdir.
                Pernah beberapa kali kucoba untuk membuka hati yang hampa. Kucoba memasukkan sosok pria baru dalam relung hatiku. Mencoba menggeser tahta dirimu yang masih saja menggelayuti langit hatiku. Namun mereka semua tak mampu menggeser tahtamu. Kau masih saja duduk manis dalam singgasana hatiku. Padahal telah kuusir dengan keras agar kau pergi dan tak lagi menyentuh hati ini.
                Kutuliskan di beberapa kertas di binderku bahwa aku tak akan pernah ingin bertemu denganmu, mengenalmu, mengingatmu, dan mencintaimu lagi. Kenangan lalu selalu membuatku sakit. Kenangan lalu selalu membuat kepalaku nyeri dan pipiku kembali basah.
                Namun waktu mampu hapus semua duka itu. Saat kau kembali menyapa hati ini –yang masih tak bisa mengusirmu- dengan sapaan yang sangat lama kuinginkan. Kau kembali menyentuh lembut perasaanku. Kau kembali mencuri hatiku. Aku merasa aku telah mengkhianati diriku sendiri. Bahwasannya aku pernah berjanji untuk tak lagi pernah membuka hatiku untuk kembali menerimamu.    
Aku ingin segera bertemu denganmu. Berbagi duka di  bahu hangatmu. Dan bersandar di dadamu yang bidang. Aku ingin kita kembali bersama merajut mimpi di atas senja. Agar saat segerombolan burung melintas, ia dapat membawa mimpi-mimpi kita terbang melintasi nirwana. Aku ingin kau selalu bersamaku, di sampingku, memelukku erat, hingga mentari kembali menyengat tubuhku yang beku.
                Tapi waktu begitu cepat menutup kemesraan ini. Hatiku yang sempat mencair kini kembali dingin. Aku menitikkan air mata. Kau dengan pasti melangkahkan kaki beratmu menjauhiku.
                “Sayang, tenanglah! Aku akan kembali,” katamu sambil mencium keningku.
                “Percayalah setiap depa yang memisahkan kita, setiap detik yang menjadi halangan bagi kita, itu memiliki makna bahwa cintaku untukmu sebesar seratus kali dari itu semua. Aku begitu menyayangimu. Yakinlah aku akan kembali untukmu. Bersabarlah di sini untuk selalu setia menungguku.”
                Aku tak percaya. Pria berkulit eksotis ini kini benar-benar meninggalkanku dalam keheningan malam. Mendung mala mini mendukung air mataku yang sedari tadi mengucur deras. Aku kembali merasakan sepi. Sepi yang dulu sempat kurasakan ketika harus berpisah juga dengannya.
                Dia kembali memelukku. Erat. Sangat erat. Desahan nafasnya membuatku sedikit tenang. Jariku mencakar punggungnya erat. Menahan kepedihan dan rasa rindu yang belum terbalaskan utuh. Jariku kaku.
                Dia berbalik. Meninggalkanku yang masih saja terpaku dengan kepergiannya. Kutatap punggungnya yang semakin menjauh. Jauh. Jauh. Dan hilang. Pergilah untuk meraih apa yang kau citakan dan merengkuh takdirmu. Aku akan menunggumu di sini. Aku tak akan pernah beranjak dari tempat penantian ini. Kembalilah dengan pengharapan yang tak pernah putus. Karena tak ada alasan bagiku untuk terus mencintaimu. Apalagi untuk meninggalkanmu sendiri dengan sejuta harap.

Yogyakarta, 17 Juni 2012
Risa Umari Yuli Aliviyanti – dalam kerinduan yang kian membeku

0 komentar on "Kerinduan yang Kian Membeku"

Posting Komentar


 

Secangkir Capuccinno Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea