Bukan
keinginanku untuk kembali dalam perputaran waktu yang sama. Berjuta putaran jam
tak mampu menghapuskan serpihan kenangan yang masih saja terpatri kuat di
hatiku yang mulai layu. Mungkin takdir yang kembali menyatukan kita. Mungkin
takdir yang membuat serpihan itu kembali utuh. Mungkin ini semua hanya permainan
takdir.
Pernah
beberapa kali kucoba untuk membuka hati yang hampa. Kucoba memasukkan sosok
pria baru dalam relung hatiku. Mencoba menggeser tahta dirimu yang masih saja
menggelayuti langit hatiku. Namun mereka semua tak mampu menggeser tahtamu. Kau
masih saja duduk manis dalam singgasana hatiku. Padahal telah kuusir dengan
keras agar kau pergi dan tak lagi menyentuh hati ini.
Kutuliskan
di beberapa kertas di binderku bahwa aku tak akan pernah ingin bertemu
denganmu, mengenalmu, mengingatmu, dan mencintaimu lagi. Kenangan lalu selalu
membuatku sakit. Kenangan lalu selalu membuat kepalaku nyeri dan pipiku kembali
basah.
Namun
waktu mampu hapus semua duka itu. Saat kau kembali menyapa hati ini –yang masih
tak bisa mengusirmu- dengan sapaan yang sangat lama kuinginkan. Kau kembali
menyentuh lembut perasaanku. Kau kembali mencuri hatiku. Aku merasa aku telah mengkhianati
diriku sendiri. Bahwasannya aku pernah berjanji untuk tak lagi pernah membuka
hatiku untuk kembali menerimamu.
Aku ingin segera bertemu denganmu.
Berbagi duka di bahu hangatmu. Dan
bersandar di dadamu yang bidang. Aku ingin kita kembali bersama merajut mimpi
di atas senja. Agar saat segerombolan burung melintas, ia dapat membawa
mimpi-mimpi kita terbang melintasi nirwana. Aku ingin kau selalu bersamaku, di sampingku,
memelukku erat, hingga mentari kembali menyengat tubuhku yang beku.
Tapi
waktu begitu cepat menutup kemesraan ini. Hatiku yang sempat mencair kini
kembali dingin. Aku menitikkan air mata. Kau dengan pasti melangkahkan kaki
beratmu menjauhiku.
“Sayang,
tenanglah! Aku akan kembali,” katamu sambil mencium keningku.
“Percayalah
setiap depa yang memisahkan kita, setiap detik yang menjadi halangan bagi kita,
itu memiliki makna bahwa cintaku untukmu sebesar seratus kali dari itu semua.
Aku begitu menyayangimu. Yakinlah aku akan kembali untukmu. Bersabarlah di sini
untuk selalu setia menungguku.”
Aku tak
percaya. Pria berkulit eksotis ini kini benar-benar meninggalkanku dalam
keheningan malam. Mendung mala mini mendukung air mataku yang sedari tadi mengucur
deras. Aku kembali merasakan sepi. Sepi yang dulu sempat kurasakan ketika harus
berpisah juga dengannya.
Dia
kembali memelukku. Erat. Sangat erat. Desahan nafasnya membuatku sedikit
tenang. Jariku mencakar punggungnya erat. Menahan kepedihan dan rasa rindu yang
belum terbalaskan utuh. Jariku kaku.
Dia berbalik.
Meninggalkanku yang masih saja terpaku dengan kepergiannya. Kutatap punggungnya
yang semakin menjauh. Jauh. Jauh. Dan hilang. Pergilah untuk meraih apa yang
kau citakan dan merengkuh takdirmu. Aku akan menunggumu di sini. Aku tak akan
pernah beranjak dari tempat penantian ini. Kembalilah dengan pengharapan yang
tak pernah putus. Karena tak ada alasan bagiku untuk terus mencintaimu. Apalagi
untuk meninggalkanmu sendiri dengan sejuta harap.
Yogyakarta, 17 Juni 2012
Risa Umari Yuli Aliviyanti – dalam kerinduan yang kian membeku
0 komentar:
Posting Komentar