Kamis, 08 November 2012

Hujan di Bulan November

by : Risa Umari Y.A. at 3:38:00 PM
Duhai Sang Maha Cinta. Duhai Pemilik Rindu. Duhai Pemilik Hati, Jiwa, dan Perasaan. Duhai Sang Maha Segalanya. Yang Maha Membolak-balikkan Hati

Di sini di awal November yang ujung. Lalu, di awal November lalu. Sama. Hujan November. Menyibakkan kegersangan hati. Menutup retakan jiwa. Menitikkan kehidupan padapribadi yang mulai mati. Kering. Dan mulai kehilangan harap.

Lalu, bagaimanakah dengan aku? Cukupkah kuat aku di atas tanah lembab dan terkulai lemah ini? hah? Sanggup? Cukupkah aku dengan curah hujan yang tidak bisa tertakar ini?

Setelah hujan datang biasanya ada pelangi. Bagaimana jika yang terjadi adalkah sebalikannya? Bukan, bukan tak ada hujan ataupun pelangi. Maksudku bagaimana jika pelangi tampil sebelum hujan? Ya begitu maksudku. Aku telah tersibak terlebih dahulu oleh fatamorgana. 

Entah semu, maya, nyata, ataukah ilusi? Entahlah apa itu. Yang jelas aku menikmati lingkar hidup yang Ia goreskan.  Dia yang maha segalanya. Yang maha mengetahui. Memiliki apa yang kini bersamaku. Apa yang kini telah dititipkan padaku. Benar, suatu saat pasti akan lepas. Aku harus rela melepaskan apa yanglagi aku pinjam. Sedang kunikmati. Atau apa sajalah.


Fatamorgana tetap saja hanya ilusi, kan? Bersuka cita penuh harap akan titik akhir perjalanan. perjalanan mencari sumber mata air di tengah keringnya gurun. Di antara debu yang mengganggu mata. Retakan-retakan jiwa yang rapuh. Terbang. Hilang. Tak bersisa.

Dulu, tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Untuk pertamanya rinai hujan pertama turun. Meretas. Menyeruak. Meringis. Tertatih. Menatap iba. Tersayat di antara sepi yang gigil. Dulu. Tiga ratus enam puluh lima hari. Lalu.

Oh iya sepiring kehangatan dan dalam secangkir cappuccino yang dapat menghangatkan malam itu. Di antara jerit hujan dan petir yang silih berganti menyeruak. Membuatku semakin lapar. Semakin haus. Semakin butuh. Semakin perlu. Perlu kamu. Ya, kamu di sini. Saat ini. Bukan tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu.

Hujam turun dengan derasnya. Lancang ikut masuk ke dalam rongga kerongkongan. Masuk ke dalam relung hati yang gigil. Apa yang kubicarakan barusan? Aku lupa. Sebenarnya aku ak ingin lagi membahas hati. 

Karena saat ini aku telah menikmatinya. Aku menikmati hidupku untuk mencari. ummm mencari pemilik tulang rusuk ini. Aku rela lama menunggu, demi mendapatkan pemilik yang Kau anggap terbaik untukku. Lancangkah aku kembali berkata cinta? Jodoh? Dan tulang rusuk?

Hujan tanpa ampun menetesi rongga luka yang ternganga lebar. Kau tahu? Ini seperti asam asetat yang mengenai goresan luka di sayatan tanganmu. Nyeri dan sakit. Tak terperi. Maaf, mungkin aku membandingkan dngan hal yang salah. Entahlah, aku sedang ricuh. Sedang kacau. Ruwet. 

Tapi aku masih dapat bersyukur. Karena setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Dan Allah pasti menjadikan kesedihan itu sebuah kemudahan. Siapa bilang aku sedih? Aih, hatiku lancang menuliskannya di sini. Maaf. Maaf sekali, katanya.

Tanpanya. Luka, air mata, penyesalan, bagaimana aku bisa dewasa? Mungkin dengan cara ini Ia menunjukkan padaku. Hay, sadarlah! Bangun dari mimpimu yang terlalu melayang! Kejarlah ia! Gapai! Kejar! Kejar! Kejar! Coba! Coba! Coba! Kejaaaaaaaarrrrrrrr!

Hujan, entahlah. Aku merindukan rinaimu. Menikmati sejuknya tiap bulir kenangan di tiap tetes rinaimu.

Hujan, buat aku menjadi pribadi baru. Yang layak, yang dapat bersama denganmu mencipta tawa. Menghapus duka. Menghanyutkan air mata.

Hujan... Hujan di Bulan November

Yogyakarta, 8 November 2012
dalam setangkum mimpi yang belum retas
http://risaumari.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Kamis, 08 November 2012

Hujan di Bulan November

Diposting oleh Risa Umari Y.A. di 3:38:00 PM
Duhai Sang Maha Cinta. Duhai Pemilik Rindu. Duhai Pemilik Hati, Jiwa, dan Perasaan. Duhai Sang Maha Segalanya. Yang Maha Membolak-balikkan Hati

Di sini di awal November yang ujung. Lalu, di awal November lalu. Sama. Hujan November. Menyibakkan kegersangan hati. Menutup retakan jiwa. Menitikkan kehidupan padapribadi yang mulai mati. Kering. Dan mulai kehilangan harap.

Lalu, bagaimanakah dengan aku? Cukupkah kuat aku di atas tanah lembab dan terkulai lemah ini? hah? Sanggup? Cukupkah aku dengan curah hujan yang tidak bisa tertakar ini?

Setelah hujan datang biasanya ada pelangi. Bagaimana jika yang terjadi adalkah sebalikannya? Bukan, bukan tak ada hujan ataupun pelangi. Maksudku bagaimana jika pelangi tampil sebelum hujan? Ya begitu maksudku. Aku telah tersibak terlebih dahulu oleh fatamorgana. 

Entah semu, maya, nyata, ataukah ilusi? Entahlah apa itu. Yang jelas aku menikmati lingkar hidup yang Ia goreskan.  Dia yang maha segalanya. Yang maha mengetahui. Memiliki apa yang kini bersamaku. Apa yang kini telah dititipkan padaku. Benar, suatu saat pasti akan lepas. Aku harus rela melepaskan apa yanglagi aku pinjam. Sedang kunikmati. Atau apa sajalah.


Fatamorgana tetap saja hanya ilusi, kan? Bersuka cita penuh harap akan titik akhir perjalanan. perjalanan mencari sumber mata air di tengah keringnya gurun. Di antara debu yang mengganggu mata. Retakan-retakan jiwa yang rapuh. Terbang. Hilang. Tak bersisa.

Dulu, tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Untuk pertamanya rinai hujan pertama turun. Meretas. Menyeruak. Meringis. Tertatih. Menatap iba. Tersayat di antara sepi yang gigil. Dulu. Tiga ratus enam puluh lima hari. Lalu.

Oh iya sepiring kehangatan dan dalam secangkir cappuccino yang dapat menghangatkan malam itu. Di antara jerit hujan dan petir yang silih berganti menyeruak. Membuatku semakin lapar. Semakin haus. Semakin butuh. Semakin perlu. Perlu kamu. Ya, kamu di sini. Saat ini. Bukan tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu.

Hujam turun dengan derasnya. Lancang ikut masuk ke dalam rongga kerongkongan. Masuk ke dalam relung hati yang gigil. Apa yang kubicarakan barusan? Aku lupa. Sebenarnya aku ak ingin lagi membahas hati. 

Karena saat ini aku telah menikmatinya. Aku menikmati hidupku untuk mencari. ummm mencari pemilik tulang rusuk ini. Aku rela lama menunggu, demi mendapatkan pemilik yang Kau anggap terbaik untukku. Lancangkah aku kembali berkata cinta? Jodoh? Dan tulang rusuk?

Hujan tanpa ampun menetesi rongga luka yang ternganga lebar. Kau tahu? Ini seperti asam asetat yang mengenai goresan luka di sayatan tanganmu. Nyeri dan sakit. Tak terperi. Maaf, mungkin aku membandingkan dngan hal yang salah. Entahlah, aku sedang ricuh. Sedang kacau. Ruwet. 

Tapi aku masih dapat bersyukur. Karena setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Dan Allah pasti menjadikan kesedihan itu sebuah kemudahan. Siapa bilang aku sedih? Aih, hatiku lancang menuliskannya di sini. Maaf. Maaf sekali, katanya.

Tanpanya. Luka, air mata, penyesalan, bagaimana aku bisa dewasa? Mungkin dengan cara ini Ia menunjukkan padaku. Hay, sadarlah! Bangun dari mimpimu yang terlalu melayang! Kejarlah ia! Gapai! Kejar! Kejar! Kejar! Coba! Coba! Coba! Kejaaaaaaaarrrrrrrr!

Hujan, entahlah. Aku merindukan rinaimu. Menikmati sejuknya tiap bulir kenangan di tiap tetes rinaimu.

Hujan, buat aku menjadi pribadi baru. Yang layak, yang dapat bersama denganmu mencipta tawa. Menghapus duka. Menghanyutkan air mata.

Hujan... Hujan di Bulan November

Yogyakarta, 8 November 2012
dalam setangkum mimpi yang belum retas
http://risaumari.blogspot.com

0 komentar on "Hujan di Bulan November"

Posting Komentar


 

Secangkir Capuccinno Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea