Minggu, 25 November 2012

Sejiwa yang Pudar

by : Risa Umari Y.A. at 9:25:00 AM
Mungkin saja hujan memudarkan sejiwa itu. Atau kau yang menyublim perlahan. Ah, nampaknya aku tak tahu menahu apa yang tengah terjadi pada dirimu. Aku masih saja duduk manis sambil menikmati setengah cangkir cappucino.

Biasanya setelah pulang dari kelas menulis, aku selalu menceritakan banyak hal padamu. Tentang begitu bahagianya aku saat bertemu dengan seseorang yang mampu membuatku meleleh dengan kata indah nan puitis yang ia tuliskan. Atau betapa bahagianya aku saat berjumpa dengan banyak orang yang memiliki keinginan dan mungkin kemampuan yang lebih dahsyat dariku.

Aku rindu bercerita itu padamu. Di tengah kelas, aku berpikir. Lalu, dengan siapakah aku akan berbagi kali ini? Entahlah. Seperti ada sepotong duri di antara kita. Aku ingin berkata, berucap, bercerita padamu. Tapi... Ah, sudahlah.

Walaupun dalam keadaan bahagia seperti ini, ini bukan bahagia namanya jika aku tak bisa berbagi denganmu. Ah, aku merasakan sakit dan bahagia itu seorang diri, tanpa ada kamu. Tanpa kamu yang selalu saja setia mendengar ceritaku seperti erangan laron.

Entah, mungkin hujan senja itu membantuku menurunkan bulir. Saat aku memulai kewajibanku pada-Nya, air itu jatuh. Ah, sedahsyat inikah hujan senja ini?


Hingga atap pembungkus gedung berlantai dua ini saja tak mampu menahan derasnya debit. Hingga kain putih suci yang kukenakan ini basah. Mungkin kontraktor harus lebih tekun memperbaikinya nanti. Hmmmm.

Yah, sepanjang akhir kelas aku hanya memikirkan hal  itu. Pada siapa, dengan siapa, aku berbagi. Aku bercerita. Aku menyandarkan kebahagiaan ini. Aku hanya inginkan berbagi denganmu. tidak untuk yang lainnya. Ah, aku sama saja ya seperti yang dulu? Acapkali aku egois. Memikirkan keinginanku sendiri.

Dan kau tahu? Malam ini begitu gigil dan pekat. Petir menyambar. Menggetarkan jiwa yang sedang luka lara. Aku membutuhka iodin. Agar keratinisasi di hepar berlangsung cepat.

Aku membutuhkan diazepam. Agar aku tenang. Atau, kau biarkan saja aku meneguk beberapa inhalan. Biarkan aku tenang di sini. Tanpamu, tanpa jiwa yang semakin pudar itu.

Dan, jika harapan akan itu tak tercapai, aku sakit. Menyakiti diri mungkin. Ah, bukan. Aku juga tak mengharapkan hal itu. Aduh, lemahnya aku. Ketika aku melihat semburat senyum itu lagi, aku kembali sehat. Aih, doktrin macam apa ini? Semoga saja jiwa yang pudar itu dijadikan dengan jiwa baru yang semakin menarik. Ah, dengan sejumput tanah yang sama tentunya.

 Yogyakarta, 24 November 2012
at : 20.10
Masih dalam nama dan harapan yang sama.
Semoga saja impi kita tekabul di waktu dan tempat yang indah.
http://risaumari.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 25 November 2012

Sejiwa yang Pudar

Diposting oleh Risa Umari Y.A. di 9:25:00 AM
Mungkin saja hujan memudarkan sejiwa itu. Atau kau yang menyublim perlahan. Ah, nampaknya aku tak tahu menahu apa yang tengah terjadi pada dirimu. Aku masih saja duduk manis sambil menikmati setengah cangkir cappucino.

Biasanya setelah pulang dari kelas menulis, aku selalu menceritakan banyak hal padamu. Tentang begitu bahagianya aku saat bertemu dengan seseorang yang mampu membuatku meleleh dengan kata indah nan puitis yang ia tuliskan. Atau betapa bahagianya aku saat berjumpa dengan banyak orang yang memiliki keinginan dan mungkin kemampuan yang lebih dahsyat dariku.

Aku rindu bercerita itu padamu. Di tengah kelas, aku berpikir. Lalu, dengan siapakah aku akan berbagi kali ini? Entahlah. Seperti ada sepotong duri di antara kita. Aku ingin berkata, berucap, bercerita padamu. Tapi... Ah, sudahlah.

Walaupun dalam keadaan bahagia seperti ini, ini bukan bahagia namanya jika aku tak bisa berbagi denganmu. Ah, aku merasakan sakit dan bahagia itu seorang diri, tanpa ada kamu. Tanpa kamu yang selalu saja setia mendengar ceritaku seperti erangan laron.

Entah, mungkin hujan senja itu membantuku menurunkan bulir. Saat aku memulai kewajibanku pada-Nya, air itu jatuh. Ah, sedahsyat inikah hujan senja ini?


Hingga atap pembungkus gedung berlantai dua ini saja tak mampu menahan derasnya debit. Hingga kain putih suci yang kukenakan ini basah. Mungkin kontraktor harus lebih tekun memperbaikinya nanti. Hmmmm.

Yah, sepanjang akhir kelas aku hanya memikirkan hal  itu. Pada siapa, dengan siapa, aku berbagi. Aku bercerita. Aku menyandarkan kebahagiaan ini. Aku hanya inginkan berbagi denganmu. tidak untuk yang lainnya. Ah, aku sama saja ya seperti yang dulu? Acapkali aku egois. Memikirkan keinginanku sendiri.

Dan kau tahu? Malam ini begitu gigil dan pekat. Petir menyambar. Menggetarkan jiwa yang sedang luka lara. Aku membutuhka iodin. Agar keratinisasi di hepar berlangsung cepat.

Aku membutuhkan diazepam. Agar aku tenang. Atau, kau biarkan saja aku meneguk beberapa inhalan. Biarkan aku tenang di sini. Tanpamu, tanpa jiwa yang semakin pudar itu.

Dan, jika harapan akan itu tak tercapai, aku sakit. Menyakiti diri mungkin. Ah, bukan. Aku juga tak mengharapkan hal itu. Aduh, lemahnya aku. Ketika aku melihat semburat senyum itu lagi, aku kembali sehat. Aih, doktrin macam apa ini? Semoga saja jiwa yang pudar itu dijadikan dengan jiwa baru yang semakin menarik. Ah, dengan sejumput tanah yang sama tentunya.

 Yogyakarta, 24 November 2012
at : 20.10
Masih dalam nama dan harapan yang sama.
Semoga saja impi kita tekabul di waktu dan tempat yang indah.
http://risaumari.blogspot.com

0 komentar on "Sejiwa yang Pudar"

Posting Komentar


 

Secangkir Capuccinno Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea